September 18, 2009

Revolusi Hijau, Penjeratan Petani Menggunakan Racun


Dalam kehidupan masyarakat Indonesia apabila tidak makan nasi maka tidak afdol dan tidak dapat disebut makan. Namun secara tidak langsung, masyarakat kita telah mengkonsumsi makanan yang mengandung racun dan apabila dikonsumsi terus menerus dapat menyebabkan penyakit - penyakit berbahaya di kemudian hari. Demi meningkatkan hasil panen dan tuntutan perut masyarakat, maka pestisida dan racun - racun dalam lahan pertanian dipergunakan. Disini saya tidak ingin mendiskreditkan siapa yang salah ato tidak, jangan menghakimi bahwa semua ini 100 % salah petani karena petani sendiri juga korban.
Coba kita telaah sistem yg telah berkembang selama ini, apakah memberi petani mencari alternatif lain..

Sejarah Revolusi Hijau

Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat ini, membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.

Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai beberapa lembaga besar lainnya.

Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain.

Karena perubahan itu dianggap berhasil maka beberapa lembaga besar kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi.

Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia.

IRRI yang mempunyai kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjasama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional.

Kredit untuk Petani

Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang setahun sebelumnya.

Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian.

Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani.

Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan buka 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan. Tapi kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya.

Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT).

KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat.

Toh pemerintah tetap keukeuh untuk terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada deal tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau.

Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia.

Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.


Bukanlah tak berarti apabila ada arti..

Tak mengerti apa yang kan dimengerti
Tak paham apa yang kan dipahami
Tak merasa apa yang kan dirasakan
Dan tak merasa berjalan apa yang harusnya berjalan

Bukan terindah apabila cinta tak dielukan
dan Bukan perjalanan apabila waktu tak berlaku
Sesuatu berarti telah tersingkir satu persatu
Menghilangkan sebagian nurani tak terkira harganya

Meski kucing2 berteriak mengaum
tak kan berguna di telinga ini
seakan meratapi
dibalik kedamaian liang kubur

Melangkah entah kemana
bukan berarti tanpa harapan
Berlari tak menentu
bukan berarti tak ada yg dituju

teman, cinta, kekayaan, jabatan hanyalah sementara,
sementara yang merupakan pilihan
pilihan yang kan saling menghancurkan satu ato dua diantaranya
semuanya tak kekal

Akankah kesombongan membutakan segalanya,
Akankah kecerdikan mengalahkan keesaan,
Akankah kesedihan menghalalkan segalanya,
Dan akankah semua pertanyaan membutuhkan jawaban,

Meski terpuruk semua butuh usaha,
Meski menangis semua butuh tertawa,
Meski bingung semua butuh pemecahan,
dan TERSENYUMLAH karena dunia tidak sekejam yg kita kira..